Penyimpangan Paham Kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama
pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam
dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan,
yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto,
meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan
Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan
kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan
Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965
oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk
segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima
Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat
berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan
kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30
September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai
langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan
pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di
mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar
Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno
untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur
komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam
penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka
telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas
anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu
merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin
membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan
saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras
pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam
rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat
pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11
Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari
Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud,
dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk
dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar
mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan,
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian,
12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai
partai terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya
G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima
kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk
sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari
1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden
sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada
12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak
MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap
MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga
merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama.
Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada
10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima
Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi
Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana,
Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil
Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR dari
Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk
wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik,
Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No
IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari
dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik
turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai
posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada
20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu
Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan
Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden untuk
periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1
Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar
Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR
mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret
1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri
atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga
pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi
formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar
negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan
hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan
negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan
mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta
orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap
hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis
dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa
hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan
Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika
rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari
Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor
Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan
ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat
administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto
adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia
resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia
secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit
dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan
1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan
Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka
pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai
rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi
asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran
Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali
Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi
dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem
kepartaian.
[sunting]Sebagai presiden
Gambar Presiden Soeharto pada uang pecahan 50.000
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap
Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara
anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia
terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan
Indonesia dari pengimpor besar terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk
maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta
ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika
yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu
merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto
dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan
khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang
pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar
mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data
1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa
Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih
sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan
kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang
Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga
berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas
Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan
produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak
terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi
PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh
Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York
bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto
makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar
ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi
regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan kehadiran
Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang
pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul
Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward
Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di
Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga
memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan
nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri Indonesia dan
mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara istri dan anak-anak
merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh
rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu
temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak
permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia
setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk
yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil
presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden,
Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur
hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto
memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan
sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat
presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus
menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa
Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk periode yang
keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996.
Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja
bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai
presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau
Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan
Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi kerusuhan 27 Juli
berdarah.
[sunting]Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa
juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi.
Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk
memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta
seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November
1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan
yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden
untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai
presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan
gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto
menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir
pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang
rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan
senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi
benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa
bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi
presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari
jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat
pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya
sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik
per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang.
Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi
dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa
menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta
mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari
halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung
MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran
berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat
mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang
hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara
luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat
mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14
Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei
1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang
pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari
kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)
Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian
pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei
1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat
pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa
mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua
mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas
Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik
Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah
Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur)
dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan
Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh
dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui
pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan
pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di
bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai
mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan
untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial
mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar
ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan
dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera
diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa.
Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan
pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No.
12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai
isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari
wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan
perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis,
yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan
sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai
pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah
mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan
Orde Baru.
[sunting]Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan
pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya
berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan
Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia
Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor
(negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah
Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia
karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh
lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti
UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang
bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan
pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya
manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat
Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis
1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras
pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan
partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik
di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik
dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun
dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana
muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai
utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa
pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan
ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan
ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa
kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang
karena ketidakpuasan dari masyarakat.
[sunting]Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku
Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material
tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka
terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab
dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis
Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah
demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi
sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran
media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli
kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan
faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya
melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada
1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada
diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara
partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika
Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas
koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin
memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri,
serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya
mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi
dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia.
Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah
tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William
Cohen pada tahun 1998.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980
sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut
kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer,
politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan
pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh
bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya
dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk
dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang
mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi
manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati
Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu
dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas
besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah
di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar